Jumat, 22 Februari 2013

SEKILAS AGROBISNIS SINGKONG


Singkong mudah tumbuh di bumi nusantara ini, melalui batangnya (stek) yang ditancapkan ke dalam tanah, dalam kurun waktu sembilan bulan, dapat dihasilkan umbi yang dapat dipergunakan sebagai bahan pangan. Namun saat ini singkong bukan hanya sebagai bahan pangan. Singkong mempunyai nilai tambah lain, yaitu diolah menjadi tepung gula, gula cair dan sebagai energi alternatif bioetanol singkong. Pembangunan industri bioetanol dari singkong telah diprogramkan oleh pemerintah untuk menjadi salah satu pilar utama industri biofuel di Indonesia.
Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) mengatakan, kemajuan teknologi kini mampu menjadikan singkong dan kelapa sawit diolah menjadi energi alternatif dalam mengatasi krisis bahan bakar minyak (BBM). “Singkong dapat diolah menjadi bioetanol dan kelapa sawit menjadi biodiesel yang bisa dimanfaatkan mencampur sepuluh persen dari keempat jenis BBM,”. Berdasarkan percobaan yang dilakukan oleh BPPT, 1 ton singkong bisa menghasilkan 167 liter etanol. Singkong sangat kompetitif untuk dijadikan bahan baku biofuel jenis bioetanol. Singkong dapat tumbuh di lahan kritis, mudah ditanam, dan masyarakat telah mengenal dengan baik tanaman singkong ini, bahkan hampir mendekati kemudahan tumbuh jarak. Tanaman singkong hampir tidak memerlukan perawatan khusus dan hampir tidak ada gangguan hamanya.
Pada tahun 2005 Indonesia mampu menghasilkan singkong sebanyak 19.7 juta ton (sumber: BPS tahun 2006). Untuk bisa dikembangkan menjadi bioetanol singkong harus ditingkatkan produktivitasnya. Peningkatan produksi bisa dilakukan dengan memakai bibit unggul. Pemakaian bibit unggul akan meningkatkan produktivitas hingga 100%, dari rata-rata saat ini 15 ton per hektare per tahun menjadi 30 ton. Bahkan, jika ditanam di tanah yang lebih subur dan diberi pupuk kandang, produksi bisa mencapai 50 ton per hektare per tahun.
Namun demikian upaya peningkatan harga jual dan produktivitas singkong bisa menjadi jalan panjang tak berujung, jika tak ada intervensi pemerintah yang kuat berpihak pada petani. Selain penyediaan bibit unggul dan pupuk bersubsidi yang terjamin sampai ke tangan petani, pemerintah perlu mengupayakan sistem penyanggaan komoditas singkong, dengan menggandeng daerah potensial seperti lampung.
Teknologi pengolahan singkong menjadi bioetanol sudah diterapkan di Lampung, namun kapasitasnya masih sangat terbatas. Jika kedua jenis bahan pencampur BBM itu dapat diproduksi, akan mampu menghemat sedikitnya Rp 9 triliun subsidi BBM dalam setahun. Karenanya apabila 30 % saja produksi singkong seluruh Indonesia dibuat bioetanol maka sudah bisa mensubstitusi kebutuhan bensin sebesar 5%. Kalau produksi rata-rata singkong 15 ton perhektar, dengan memanfaatan lahan kritis di Indonesia sebesar 10 % saja (setara dengan 6.6 juta hektar) maka akan dapat dihasilkan etanol sebanyak 5.11 juta kiloliter. Hasil ini setara dengan 27.55% kebutuhan bensin setiap tahunnya. Seperti tanaman jarak, budidaya singkong untuk gasohol menggunakan lahan kritis juga tidak akan menggangu persedian pangan nasional.
Dalam upaya meningkatkan produksi singkong secara nasional serta membangun industri etanol berbahan baku singkong sektor perbankan kiranya dapat menangkap peluang tersebut dengan melakukan pembiayaan pengembangan agrobisnis singkong.